Pertanian
Indonesia dalam Industrialisasi dan Perdagangan Bebas
Arus utama pembangunan
menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke
industri. Hal ini dapat dibuktikan oleh indikator ekonomi yang menunjukkan
menurunnya pangsa pertanian serta meningkatnya pangsa industri dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Pangsa
relatif sektor pertanian dalam PDB yang pada tahun 1967 sekitar 67 persen
menurun menjadi hanya 17,2 persen pada tahun 1995. Sementara untuk kurun waktu
yang sama pangsa industri meningkat dari 5 persen menjadi 24,3 persen. Inilah
yang seringkali disebut-sebut sebagai keberhasilan transformasi. Namun
demikian, pangsa tenaga kerja sektor pertanian belum menurun secara berarti,
bahkan sampai dengan tahun 1995 masih sebesar 48 persen dari total tenaga
kerja. Relatif cepatnya penurunan pangsa pertanian terhadap PDB dibandingkan
dengan penurunannya terhadap total tenaga kerja, dapat menunjukkan semakin
besarnya tenaga kerja yang terperangkap di bidang pertanian sehingga semakin
tidak produktif dan tidak efisien. Dari data tersebut bisa terlihat semakin
menurunnya pendapatan perkapita tenaga kerja sektor pertanian.
Proses industrialisasi yang
cukup gencar, cepat, dan berhasil tersebut ternyata belum mengkait ke belakang
(backward linkage), yakni ke sektor
pertanian. Inilah yang mengakibatkan tertinggalnya sektor pertanian dari industri.
Tidak saja dalam struktur PDB, tetapi juga dalam struktur masyarakat dimana
sampai saat ini masyarakat pertanian (baca: petani) tak kunjung sejahtera
dibandingkan masyarakat yang bergerak di bidang industri. Nilai tukar petani
yang belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap
mental dan budaya yang masih tradisional membawa mereka pada ketertinggalan.
Fenomena transformasi di
atas menjadi tantangan tersendiri bagi pertanian. Apalagi bila dikaitkan dengan
situasi internasional yang mengarah pada perdagangan bebas, semakin
memperbanyak jumlah pertanyaan tentang prospek pembangunan pertanian Indonesia . Tantangan
selanjutnya adalah perdagangan bebas. Sejak terinstitusionalisasinya
perdagangan bebas melalui WTO serta kesepakatan-kesepakatan perdagangan
kawasan, seperti APEC, AFTA, NAFTA, serta Uni Eropa, dunia akan semakin mengalami
perubahan. Tahun 2003 bagi AFTA dan 2010 serta 2020 bagi APEC sudah menjadi momentum
yang sulit terelakkan bagi Indonesia. Ini juga sebagai konsekuensi dari upaya Indonesia
mengubah haluan dalam strategi ekspornya pada tahun 1980-an, dimana sebelumnya pada tahun 1970-an ekonomi Indonesia lebih
bercorak inward looking dengan
mengandalkan subtitusi impor menjadi outward
looking.
Sikap optimistik Indonesia terhadap
perubahan dunia tersebut yang setidaknya diwakili pemerintah dan elit
perkotaan, masih dihadapkan pada realitas yang amat kompleks. Misalnya, tentang
dampak perdagangan bebas bagi mereka yang berkompetisi di pusat metropolis
dunia serta bagi mereka yang saat ini masih termarjinalisasi oleh arus pembangunan
yang mayoritas masih bergerak di sektor pertanian. Kemungkinan ketidakseragaman
respon dari berbagai struktur masyarakat terhadap perdagangan bebas pada
gilirannya nanti akan membawa sejumlah pertanyaan baru: mungkinkah keadilan dan
kemakmuran yang merata bisa terwujud, ataukah justru sebaliknya?
Respon pertanian Indonesia yang masih didominasi petani tradisional terhadap perdagangan bebas semakin penting
dipahami. Adanya perdagangan bebas tersebut akan memperluas arus perdagangan
internasional yang lebih terbuka, transparan, dan kompetitif. Bagi Indonesia ,
kenyataan ini akan menjadi peluang (opportunity)
bila Indonesia
telah siap bersaing, tetapi juga dapat menjadi ancaman (threat) bila tidak siap. Kesiapan bersaing ini ditentukan oleh
tingkat produktivitas dan efisiensi yang diakselerasi oleh penguasaan
teknologi, sikap mental modern, serta pemahaman yang dalam tentang standar mutu
internasional dan politik pemasaran yang handal.
Kesiapan bersaing dapat
ditunjang dengan dipenuhinya standar internasional dalam mutu. Jaminan mutu (quality assurance) suatu produk
khususnya dalam kesehatan dan lingkungan
serta persaingan harga akan menjadi kecenderungan pasar. Apa yang
dikenal dengan SPS (sanitary and
phytosanitary measures) dan TBT (technical
barrier to trade) terhadap suatu produk telah disepakati dan selaras dengan
aturan-aturan perdagangan internasional.
Tantangan-tantangan di atas dapat menjadi agenda
penting untuk pembangunan sektor pertanian. Oleh karena itu menarik untuk
dikaji: bagaimana posisii pertanian Indonesia di tengah industrialisasi
dan perdagangan bebas, serta bagaimana landasan teoritik untuk implikasi
kebijakan yang harus dirumuskan dalam menemukan model pembangunan pertanian
masa depan tersebut? Untuk itu fenomena tersebut harus dilakukan akan
dianalisis secara teoritik dan empirik.
No comments:
Post a Comment